Event Report: Workshop with Ian Livingstone


KASKUS bekerja sama dengan British Council mengadakan event dengan nama Exclusive Workshop With Ian Livingstone. Event ini merupakan event yang pertama dalam rangkaian event yang di adakan oleh KASKUS selama periode beberapa bulan kedepan, dengan tema KASKUS “HiFive”.

Hifive akan meng-highlight 5 forum: Game, Movie, Music, Women… dan 1 lagi saya lupa.  Jadi pada tanggal 25 Oktober kemarin, saya dan danjo1402 pergi ke BiNus untuk mengulas kegiatan bertema game, yang pada dasarnya jarang sekali diadakan di Tanah Air kita ini.

Dan ketika memasuki lobby, menyerahkan tiket, dan menerima goodie bag (yang berisi majalah GameStation, Mind+, sebuah mug dan bolpen) tiba-tiba saya kebelet buang air kecil. Memperkirakan bahwa acara ini akan cepat dimulai, saya berusaha untuk menahan kencing. And boy, I was wrong

Acaranya dibuka dengan sambutan oleh Keith Davis, salah seorang perwakilan dari British Council.

Keith Davis, British Council

Beliau menyebutkan bahwa industri game di Inggris merupakan industri kedua terbesar setelah perbankan dan contoh game tenar yang berasal dari Inggris seperti Grand Theft Auto, Lemmings dan Tomb Raider. Serta terdapat 6 sektor utama industri game Inggris yaitu di Edinburgh, Dundee, Manchester, Liverpool, dan sayangnya 2 lagi saya lupa. Beliau juga sempat mengucapkan beberapa kalimat menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi akhirnya mengakui bahwa Bahasa Indonesia-nya masih kurang bagus dan meminta ijin dari para peserta untuk membiarkannya berbicara dalam Bahasa Inggris.

Bullit Sesariza dengan pembawa acara

Setelah itu, Pak Bullit Sesariza, developer game Indonesia yang bertugas sebagai moderator disini, menyampaikan beberapa kalimat singkat mengenai perjalanannya menjadi developer game dan co-founder Logika Interactive. Katanya sih, beliau juga ikut membantu dalam proses pengembangan beberapa seri Need for Speed seperti Underground, Most Wanted, dan Carbon bahkan berani menyatakan bahwa namanya tercantum dalam credit title. Bener nggaknya sih saya kurang tahu juga, kalau mau sih silakan cek sendiri, saya sibuk (hahahaha!).

Setelah itu ada Bapak Edwin yang merupakan CEO dari Kaskus Network (yang sayangnya tidak sempat kami foto) juga memberikan sedikit kata sambutan. Kemudian setelah menunggu sebentar, akhirnya Bapak Ian Livingstone dipersilahkan (mungkin lebih tepatnya baru dateng kali) memasuki ruangan.

Ian Livingstone membuka workshop-nya dengan membahas mengenai bagaimana kita dapat belajar melalui game, layaknya bayi yang belajar sambil bermain.

Bullit Sesariza dan Ian Livingstone

Kemudian beliau memaparkan mengenai perjalanan karirnya dalam dunia entertainment, dimana pada tahun 1975, bersama dengan 2 orang teman sekamarnya, John Peake dan Steve Jackson mereka membuat RPG diatas kertas yang bernama Dungeons & Dragons yang kemudian berkembang menjadi perusahaan Games Workshop. Beliau menjelaskan mengenai pelajaran pertama yang dapat dipetik, yaitu jika modalnya besar/punya uang banyak bisa mempercepat pekerjaan. Entah itu untuk produksi, iklan, dan sebagainya.

Nah, yang lucu yaitu pelajaran kedua yang disebutkan bahwa public relations itu sangat penting. Ada cerita yang menggelikan + mengesalkan dibalik semua itu. Jadi pada suatu hari, Ian bersama teman-temannya mengajukan proposal mengenai Games Workshop kepada sebuah bank yang ditolak mentah-mentah. Ternyata, berhari-hari kemudian, bank tersebut ingin berinvestasi ke Games Workshop dan diteleponlah flat (sebelum  berhasil menyewa bangunan, mereka bekerja dikamar flat mereka)nya. Sayangnya Ian dan kawan-kawan ternyata sempat menunggak bayar sewa kamar dan tentunya mebuat si induk semang kesal. Ketika telepon berdering, sang induk semang yang duluan ngangkat. “Halo,” jawab si induk semang “oh ingin berbicara kepada Games Workshop ya? Go to hell.” Bam! Selesai! Akhirnya Games Workshop gagal mendapatkan saluran dana dan ditendang keluar flat. Tapi berbekal semangat dan idealisme anak muda (ya, mereka masih muda waktu itu), mereka melanjutkan usahanya walaupun tinggal disebuah van.

Adalagi pelajaran yang bisa diambil dari situ, mereka tetap semangat menekuni usahanya karena mereka suka dan menguasai apa yang mereka kerjakan. Jadi inti pelajaran ketiga: kerjakan apa yang kamu suka dan kalau nggak suka jangan kerjakan! Daripada selama bekerja jadi malesan-malesan dan nggak niat karena nggak suka pekerjaannya, mending berhenti.

Lompat ketahun 1978, akhirnya Games Workshop berhasil memiliki tempat usaha sendiri (dan sekarang jadi kantor community service). Setelah lisensi Dungeons & Dragons dibeli orang (pelajaran keempat: pegang lisensi produk yang telah dibuat agar dapat terus dikembangkan dan dijaga sendiri) akhirnya mereka berhasil membuat Fighting Fantasy, semacam buku cerita bergambar dengan cerita bercabang yang dapat dipilih sendiri. Dari sini ada pelajaran kelima: Orisinalitas itu penting dan usahakan untuk tidak mengikuti mainstream.

Setelah pembicaraan “sejarah”, Pak Ian menerangkan mengenai game dimasa sekarang, dimana game harus mudah dimainkan oleh orang (baik awam dan core gamer) dan dapat terus dimainkan berulang-ulang, seperti Pong. Nggak harus menang grafik, suara, dan sebagainya. Bahkan kadang game dengan segala macam aspek yang simple justru bisa memikat banyak orang. Jadi, pelajaran keenam: Replay value dan kontrol yang accessible kesemua orang itu penting. Beliau juga mengemukakan opini bagaimana game dewasa ini memiliki kontol yang ribet dan bagaimana developer juga hanya ingin bersaing dan juga “memukau” developer lain tanpa melihat kebutuhan konsumen.

Makan + Minum gratis = Kerumunan manusia (danjo1402 yang pake baju abu-abu dibawah)

Acara pun diselingi coffebreak selama 15 menit. Setelah meneguk secangkir teh panas dan melahap sepotong sandwich berukuran kecil, saya langsung melarikan diri ke kamar mandi terdekat (ingat ucapan saya mengenai kebelet kencing diataaas?) yang ternyata letaknya cukup tersembunyi.

Lurus kecahaya oranye, belok kanan, kanan, kiri. Kamar mandi!

Setelah coffebreak, Pak Ian Livingstone menjelaskan juga mengenai media-media yang berpotensi sebagai tempat mengembangkan game seperti PC dengan membuat game casual melalui web-based game, Java, Flash, Facebook, dsb. Facebook merupakan ladang yang cukup berpotensi. Mengapa banyak orang memainkan Farmville? Karena mereka tidak hanya ingin mengobrol/berhubungan dengan kawan lama maupun baru, mereka juga mencari cara lain dalam menghabiskan waktu di dunia maya. Pengguna Facebook juga dapat memamerkan hasil yang diperoleh maupun meminta bantuan kepada teman melalui share di wall. Menurut saya, maka selain bermain maka para pemain juga dapat berinteraksi, melalui comment ataupun membantu teman, dan hubungan sosial tersebut yang menjadi aspek penting dalam game Facebook. Dan bagi yang ingin lebih meng-explore “kulit luar” industri game dapat mencoba melalui Xbox LIVE Arcade, ataupun Playstation Network.

Dalam membuat karakter, sebisa mungkin unik seperti Mario dan Sonic. Hanya dengan melihat siluetnya atau menunjukkan hal yang berasosiasi dengan tokoh tersebut (Mario dengan lambang M dan baju merahnya, Sonic dengan bulu-bulu biru tajamnya) orang dapat langsung menangkap karakter yang kita maksud. Atau kalau ingin karakter yang lebih serius, dapat melihat Lara Croft, Snake atau Agent 47 dari Hitman. Mereka memiliki ciri-ciri khusus yang dapat dikenali dengan mudah.

Diperlukan pula 4P dalam game developing:

  • People (Orang-orang dengan spesialisasi tertentu),
  • Perception (Persepsi orang mengenai video game harus bisa diubah dari negatif jadi positif),
  • Pipes (Hubungan/relasi dengan orang yang berpengaruh itu penting)
  • dan Pounds… yang sayangnya saya lupa-lupa inget. Kayaknya sih mengenai uang ya?

Pak Ian juga menekankan mengenai spesialisasi kemampuan.

Do what you good at!

Beliau berpendapat begitu karena setelah kesuksesan Tomb Raider (dalam game maupun iklan), Eidos merasa dapat melakukan segalanya. Mereka pun mencoba memasuki recording dan membuat lagu tema untuk Lara Croft. Mengutip pernyataan beliau sendiri, “Recording isn’t what we do best…”. Rekaman berkualitas rendah dapat Anda saksikan dibawah ini:

Setelah omongan panjang-lebar bagaimana sejarah beliau masuk dalam industri video game, aspek-aspek penting dalam pengembangan game, dan perasaan lega setelah mengeluarkan air seni yang tertahan, workshop ini akhirnya sampai pada sesi tanya jawab. Awalnya hanya 2 orang yang ingin mengajukan pertanyaan, tapi setelah pertanyaan saya dijawab (yep, saya sempat nanya. Sayang nggak ada foto), antusiasme peserta dalam mengajukan pertanyaan pun bertambah banyak sampai ada yang akhirnya nggak kebagian.

Tidak selesai sampai situ, ada juga sesi presentasi ide video game. Ada 3 giliran presentasi video game yang kemudian akan dikomentari Bapak Ian Livingstone sendiri. Yang pertama presentasi menunjukkan hasil karyanya yang dibuat menggunakan RPG Maker VX dan ceritanya berdasarkan novel yang juga dia buat. Ceritanya klise RPG Jepang gitulah, karakter utama yang biasa aja jadi makin kuat, punya teman masa kecil cewek (yang jelas-jelas bakal jadi 1-1nya love interest yang tersedia). Presentasi kedua memperlihatkan idenya yang masih konsep yang ditulis di Microsoft Word, game yang bercerita tentang hewan-setengah-manusia yang terlibat aksi baku-tembak. Lucunya, Ian berkomentar bahwa kayaknya ngga ada gamer yang mau membayangkan dirinya sebagai hewan tersebut menembaki hewan-hewan lain. Presentasi ketiga menggambarkan ide mengenai gabungan The Sims dan GTA, yang menurut Ian jika gamenya hanya merupakan “sedikit” modifikasi dari GTA akan kalah bersaing dengan nama yang lebih dikenal. Kalau ditanya sih saya juga punya ide game, cuman melihat keseriusan para peserta yang mempresentasikan ide mereka (dan telat daftar), ya saya nggak jadi ikutan deh. Lagian ntar kalau udah dipresentasiin tapi nggak dibuat-buat malah dicolong orang lagi idenya. Repot!

Mencapai penghujung acara, para peserta yang mempresentasikan ide game diberikan suvenir yangsayajuganggaktahuituapa. Kemudian penyerahan piagam dari BiNus untuk British Council, Kaskus, dan sebagainya. Setelah itu peserta dipersilahkan kemeja penyerahan tket untuk mengambil sertifikat. Begonya, pas sampai keluar, kita baru sadar kalau ada sesi foto bareng Pak Ian Livingstone! Yaudah, kecolongan dah…

———————————————————————

Dikarenakan ke-amatiran kami dalam meliput event ini, foto-foto dan video yang diselipkan masih berkualitas rendah, dan juga penggunaan tata bahasa yang masih belum sempurna. Oleh karena itu kami meminta maaf atas “kekacauan” ini dan berjanji akan meningkatkan kualitas liputan pada event berikutnya.

Bye for now, and don’t forget to take a break!